Selasa, 23 Juni 2020

Sejarah sastra (perkembangan sastra cyber)

Nama : Firda A'inanil Asyrofah
Nim  : 196151039


PERKEMBANGAN SASTRA CYBER
Karya sastra memang mengandung esensi dasar komunikasi, yaitu penyampaian pesan (dari pengirim pesan ke penerima pesan). Secara garis besar komunikasi tersebut dilakukan melalui; a) interaksi sosial, b) aktivitas bahasa (lisan atau tulisan), dan c) mekanisme teknologi (ratna,2007). Selain itu karya sastra juga memungkinkan terjadinya dialog kultural yang merupakan persemaian dari munculnya bentuk-bentuk kebudayaan baru.
Karya sastra sangat berkaitan dengan kedudukannya sebagai produk kebudayaan yang telah melewati perkembangan umat manusia dari setiap jaman, mulai dari jaman lisan (yaitu jaman ketika cerita dan mitos disampaikan dari mulut ke mulut), jaman tulisan, tradisi, cetak, dan sampai saat ini di jaman era teknologi informasi sudah semakin canggih. Fenomena sastra cyber di Indonesia sepertinya membutuhkan perhatian yang lebih besar lagi, karena sastra cyber dipercaya dapat berkontribusi bagi perkembangan kesusastraan di indonesia. Tidak hanya itu keberadaan sastra cyber juga dipercaya sebagai refleksi realitas dinamika masyarakat yang ada. Masyarakat yang senantiasa bergerak kearah yang lebih modern juga ikut memberikan kontribusi bagi kemunculan sastra cyber dengan mengikuti perkembangan teknologi komputer dan internet yang ada.
Istilah sastra cyber mulai populer pada saat budaya internet tumbuh berkecamuk di indonesia. Endraswara (2013: 182-183) mengemukakan bahwa definisi sastra cyber bermula dari kata cybersastra, yang diruntut dari asal katanya yaitu cyber, yang dalam bahasa inggris tidak dapat berdiri sendiri, dan harus terjalin dengan kata lain seperti; cyberspace, cybernate, dan cybermetics. Yaitu cyberspace yang berarti ruang (berkomputer), cybernate yang berarti pengendali proses menggunakan komputer, dan cybermetics yaitu mengacu pada sistem otomatis, baik dalam sistem komputer maupun dalam jaringan syaraf. Dari pengertian tersebut, dapat diartikan bahwa cybersastra atau sastra cyber merupakan aktivitas sastra yang memanfaatkan komputer atau internet.
Dalam buku karya Neuage yang berjudul influence of the world wide web on literature (1997) mengemukakan bahwa sastra cyber lahir pertama kali di perkirakan pada tahun 1990, dan mencapai popularitasnya pada tahun 1998. Setelah itu, komunitas-komunitas cybersastra banyak bermunculan dan memanfaatkan teknologi seperti situ; mailing list(milis), forum, dan saat ini juga sudah ada blog. Bukan hanya itu, setelah berkembangnya teknologi, kini berbagai macam situ dan fitur jejaring sosial yang menawarkan publik untuk mengembangkan kreativitas, dan juga memfasilitasi melalui wattpad, fan fiction, twitlonger (perkembangan dari twitter), dan lain sebagainya.
Di indonesia sastra cyber mulai dikenal khalayak diakhir tahun 1990-an, dan ditandai dengan pelauncingan (peluncuran) buku antalogi puisi cyber yang berjudul "graffiti gratitude" pada tanggal 9 mei 2001 di puri jaya, hotel sahid, jakarta yang beranggotakan sutan ikwan soekri munaf, nanang suryadi, nunuk suraja, tulus widjarnoko, cunong, dan medy loekito. Mereka tergabung dalam satu yayasan yaitu yayasan multimedia sastra (YMS). Kemunculan buku tersebut mengakibatkan pro dan kontra di kalangan masyarakat yang bergelut dibidang sastra. Bahkan juga kemunculan antalogi ini juga sempat mengundang kritik, baik itu terhadap wujud bukunya maupun terhadap kualitas puisinya. Hal itu membuat Usman KJ Suharjo (2001) urung mengusulkan agar hari peluncuran buku antalogi puisi cyber diperingati sebagai hari sastra cyber indonesia. Selain rilisnya buku tersebut, terbit juga cyber graffiti (2001) yakni kumpulan esai dari para kritikus sastra, yang telah direvisi menjadi cyber graffiti: polemik sastra cyberpunk (2004), kumpulan cerita pendek graffiti imaji (2004), dan kemudian juga menerbitkan antalogi puisi digital cyberpuitika dalam format CD (2002). Antalogi puisi digital cyberpuitika ini merupakan terbitan dari yayasan multimedia sastra yang juga diluncurkan pertama kali pada 3 agustus 2002 di lembaga indonesia-prancis.m, Yogyakarta yang berisi 169 puisi dari 55 penyair. Penerbitan antalogi puisi dalam bentuk CD ini ditujukan sebagai tanggapan atas protes penerbitan buku. demo alternatif media sastra untuk pengembangan sastra indonesia dan pemersatu berbagai bidang seni dan seniman.
Sajak kemunculan bentuk-bentuk sastra cyber yang semakin meluas, anggapan sastra cyber dalam kancah kesusastraan indonesia pun ditanggapi secara berbeda-beda. Ada yang menanggapi positif, ada juga yang melontarkan pendapat negatif. Tidak sedikit juga pandangan dan komentar yang dilontarkan para pemerhati sastra terhadap kehadiran sastra cyber di Indonesia, seperti yang tukaran Ahmadun Yosi Herfanda (redaktur koran republika) dalam sebuah artikel yang dimuat republika yang berjudul "puisi cyber, genre, atau tong sampah). Dalam artikel tersebut Ahmadun menyatakan bahwa sastra yang dituangkan melalui media cyber cenderung hanyalah sebagai "tong sampah".  Karena menurutnya sastra cyber merupakan karya-karya yang tidak tertampung dan ditolak oleh media sastra cetak (situmorang, 2001). Ada juga lain mengenai sastra cyber yang dikemukakan oleh Asep Sambodja (situmarong, 2004 : 239) yang mengatakan meskipun sastra cyber dicap sebagai "anak haram", ataupun "tong sampah" namun dalam sastra indonesia, sastra cyber tetap memiliki hak hidup yang sama dengan sastra lainnya.
Meskipun seperti itu, peran sastra cyber dalam khasanah kesusastraan indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata yakni sebagai media publikasi dan saran berkreasi untuk mampu melahirkan karya sesuai dengan perubahan masyarakat pada saat itu. Dalam khasanah sastra indonesia diketahui bahwa kapabilitas seorang sastrawan ditentukan oleh karyanya. Tidak ada suatu jenjang akademik apapun dan manapun yang dapat menyatakan kesejatian seorang penulis karya sastra sebagai sastrawan mapan.
  Kehadiran sastra cyber telah mampu memberikan ruang segar bagi para sastrawan pemula yang selama ini terbelenggu dengan ruang eksklusifme dunia sastra. Dengan lahirnya sastra cyber, inovasi tidak akan terbatas untuk terus berkembang dengan pengenalan daya cipta baru. Oleh karena itu sastra cyber ini sangat sejalan dengan perkembangan sastra visual yang sangat relevan dengan kebutuhan masa kini.
Sastra cyber memiliki peranan yang sangat strategis yaitu sastra cyber menjadi wahana berkreasi yang mampu mengupdate karya sastra singkat sehingga menunjang produktivitas dan mendorong perkembangan sastra. Selain itu, cyber sastra mampu mengembangkan wacana kritis dan asah kemampuan maupun pemikiran. Bukan hanya itu, peranan sastra cyber dalam khasanah kesusastraan dunia merupakan sebagai media publikasi dan saran berkreasi untuk mampu melahirkan karya sesuai dengan perubahan masyarakat. Pada dasarnya sastra berusaha untuk menerangkan pemikiran, perasaan, pengalaman, baik empiris maupun metafisis yang telah diketahui oleh sastrawan.
Sastra cyber juga memiliki kekhasan tersendiri disisi lain yakni reproduksi teks sastra di internet yang tidak dapat dikendalikan oleh kekuasaan manapun. Tidak pula dihemegoni oleh kepentingan-kepentingan ekonomis maupun politis yang ditetapkan oleh pihak penerbit yang menetapkan kriteria-kriteria suatu karya yang kayak cetak. Model sastra cyber juga sudah menerobos sistem hemegoni "penguasa sastra koran" sehingga patut diperhitungkan keberadaannya. Selain itu, karya sastra cyber tidak lagi menghadapi kendala seperti kurang pemisah antara penulis dengan pembacanya yang dikuasai oleh pihak penerbit sudah tidak ada lagi. Penulis dan pembaca hanya dipisahkan oleh per mouse click oleh layar komputer. Pembaca juga dapat langsung mengomentari karya, dan penulis juga langsung mendapatkan masukan saat itu juga.
Menurut nanang suryadi (dalam taruk 2001) keunggulan sastra cyber yaitu dapat membuka kemungkinan-kemungkinan lain dan menjadi media alternatif dalam pengembangan sastra. Sastra cyber memberikan kemudahan dalam mengakses informasi langka, sehingga dapat memacu kreativitas dan mutu Maaf Ya kreatif. Tidak banyak utu, dibandingkan media lain, sastra cyber juga sudah disadari oleh penilitian sastra, seperti melani bidoanto, dkk (2002 : 24). Sastra cyber juga memberikan kebebasan, selain itu didunia sastra cyber juga menawarkan kelebihan berupa jangkauan yang sangat luas, sehingga dapat Dapat ikut membantu memperkenalkan sastra indonesia keseluruh penjuru dunia. Untuk media sastra cyber jarak tidak lagi menjadi hambatan dan rintangan.
Sastra cyber sebagai sistem komunikasi tanda, merupakan bagian dari proses internalisasi dari banyaknya ekspresi budaya termasuk didalamnya cita rasa lokal, nasional, bahkan masuknya unsur-unsur dari mancanegara yang berkembang menjadi kebudayaan global. Semakin berkembangnya nasionalisme masyarakat, fanatisme kedaerahan berangsur-angsur menipis dan menuju semangat kehidupan antar bangsa. Pada gilirannya hal ini mendorong perubahan konsep sastra yang lebih bersifat pluralistik sehingga budaya lokal, nasional, dan budaya global dapat berkembang secara harmonis tanpa harus meminggirkan satu dengan lainnya. Jika dalam karya sastra sangat kental dengan budaya etnis daerah, maka kini sastra cyber dapat memasukkan unsur-unsur budaya bangsa lain sehingga terciptalah nuansa universal, dan cita rasa universal ini dapat terasa dalam beberapa karya sastra mutakhir.
Keberadaan sastra cyber dapat menjadi lahan stategis untuk menunjukkan pikiran dan memberi subtansi tentang realitas. Hal itu disebabkan oleh adanya perbedaan pandangan, baik mengenai kebiasaan, tradisi, budaya, maupun persepsi yang ditimbulkan berdasarkan dengan sisi subyektivitas manusia itu sendiri. Selain itu Sastra cyber juga dapat dijadikan sebagai perlawanan atas legitimasi bahwa kapabilitas seorang sastrawan dapat ditentukan dari kemampuannya menembus media massa. Tidak hanya itu sastra cyber juga dapat dijadikan sebagai wahana inovasi karya sastra. Bukan hanya itu, sastra cyber juga dapat berfungsi mengukuhkan kecenderungan dominan, misalnya melalui stereotip atau cara pandang yang esensial. Sebaliknya, sastra cyber juga dapat mempertanyakan konstruksi-konstruksi sosial yang ada secara kritis dan menawarkan perspektif yang berbeda.
Tidak dapat dipungkiri keunggulan-keunggulan sastra cyber yang telah dibahas diatas, yang kemudian dapat memikat para penggiat sastra untuk memanfaatkan dunia cyber sebagai media ekspresif. Selain memiliki keunggulan sastra cyber juga memiliki kekurangan tersendiri, yaitu jika dibandingkan dengan laju perkembangan dunia cyber dinegara lagi seperti Amerika, sudah jelas dunia cyber di Indonesia khususnya sastra memang sangat tertinggal jauh. Ketertinggalan itu tidak lepas dari faktor penguasaan teknologi di Indonesia yang masih rendah. Tidak hanya itu, kekurangan lain yang dimiliki sastra cyber yaitu karena karya sastra indonesia yang nantinya akan semakin menjamur, sehingga akan menyebabkan karya sastra semakin miskin kritik, dan pada akhirnya karya sastra indonesia hanya akan diciptakan untuk terapi sulit untuk menunjukkan capaian-capaiannya sebagai representasi dari realitas sosial.
Di tengah meningkatnya primordialisme dan konflik antar kelompok, sastra cyber dapat berfungsi bukan hanya untuk mendobrak stereotip saja, melainkan juga untuk menekankan tema solidaritas dan empati. Selain memberi peluang untuk memasuki perspektif orang lain, karya sastra juga mempunyai potensi untuk menawarkan solusi terhadap permasalahan lintas budaya dan lintas bangsa dengan membuat terobosan berpikir atau cara memandang, seperti yang terjadi di tahun 1998, yaitu kerusuhan serta penjarahaan dan pembakaran tempat usaha, ketegangan rasial terhadap etnis tionghoa dan berbagai kekerasan antar kelompok yang terjadi secara terus-menerus, yang menjadi sumber pembicaraan dan tulisan.
Kelihatannya peran sastra cyber dalam interaksi sosial memang tidak dapat dipisahkan dari kondisi penciptaan yang melingkupinya, yang selalu berkaitan dengan kebijakan budaya yang berlaku. Dilingkungan asia tenggara, sastra cyber bertumpu pada bahasa inggris. Ekspresi sastra cyber dalam berbagai bahasa selain bahasa inggris penting juga untuk dirangkul.
Disisi lain sastra cyber sebenarnya juga tidak bebas dari keterbatasan sebagai akibat ketergantungan kepada jasa internet dan tersedianya komputer. Yang bagi masyarakat indonesia, internet dan komputer merupakan barang yang mewah, karena disemua daerah tidak dapat mengaksesnya dengan baik dan dengan leluasa.
Sastra cyber pada saat awal berkembang didunia maya memunculkan perdebatan, baik itu dari kalangan penikmat sastra, pekerja sastra, maupun pemerhati sastra. Perdebatan ini biasanya selalu bermuara pada persoalan definisi sastra itu sendiri. Bahkan, Sebagian orang mengungkapkan bahwa kehadiran sastra cyber merupakan suatu yang keluar dari normatif sastra itu sendiri. Sedangkan dari pihak lain mengatakan bahwa sastra cyber menjadi hal baru akibat tuntutan dari perkembangan jaman.
Sebenarnya kemunculan sastra cyber tidak beda jauh dengan berkembangnya medium untuk menulis atau membuat blog atau web di internet. Melalui medium ini, seorang pengguna internet apalagi yang penggemar sastra , sudah tentu merasa ibarat pucuk dicinta ulampun tiba. Ia akan memanfaatkan medium internet untuk mengeluarkan ekspresi, seperti membuat puisi, membuat cerpen atau hanya sekedar membuat tulisan-tulisan ringan.
Munculnya sastra cyber, menimbulkan kekhawatiran dan penolakan atas sastra cyber, yang sebenarnya lebih didasarkan pada pandangan konservatif bahwa sastra adalah karya agung. Karena karya sastra memiliki muatan khusus yang tidak sembarangan atau tidak dibuat dengan niat yang sekadar asal-asalan. Pemikiran ini muncul apabila dibandingkan dengan fenomena sastra cyber, yang sastra cyber lebih memiliki sifat terbuka dan bahkan cenderung vulgar.
Konsep sastra cyber memang tidak memungkinkan seseorang yang terlibat didalamnya (penulis dan pembacanya) untuk bertemu secara langsung. Hal ini dikarenakan sastra cyber seolah jauh dari masyarakat dan lebih cenderung hanya bisa dinikmati secara personal atau pribadi.
Dengan kemajuan teknologi saat ini karya sastra dapat muncul dengan berbagai macam bentuk. Sebelum teknologi tulisan berkembang dengan baik, karya sastra disampaikan secara lisan. Setelah munculnya teknologi tulisan dengan baik karya sastra diekspresikan dalam bentuk tulisan.
Dengan adanya keberadaan sastra cyber, ras persimpangan putus asa yang dimiliki para penulis yang namanya belum dicantumkan dalam buku sastra terbitan manapun, seiring berjalannya waktu akan memudar, karena dunia maya atau dunia cyber mampu menjadi wadah untuk terus menghasilkan karya, yang merupakan hasil dari kreativitas para penggiat sastra. Hal yang serupa juga dapat membuat keberadaan sastra cyber semakin di akui dan tidak dipandang sebelah mata lagi. Jika dibandingkan dengan sastra cetak, keduanya merupakan medium yang berbeda. Terkait dengan media penerbitannya, sudah jelas sastra cyber memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh sastra cetak.
Sastra cyber memberikan kemudahan dalam mengakses informasi yang langka, sehingga itu dapat memacu kreativitas dan mutu karyanya. Sastra yang dilahirkan oleh sastra cyber meliputi berbagai macam genre sastra, yaitu; sastra jurnal, sastra kritik, sastra visual, sastra bisnis, sastra komunikasi, dan sastra informasi. Dalam karya-karya sastra cyber tampaklah lokalitas, seperti pandangan lyotard (1993) yaitu bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan dari globalitas, lingkungan eksternal yang plural, melainkan sesuatu yang dapat memberikan pengayaan dan makna pada lingkungan global yang plural. Melalui sastra cyber gagasan-gagasan ditawarkan dengan keterbukaan, kebebasan, berekspresi, keberanian, dan kejujuran.
Masalah-masalah yang dikemukakan misalnya; perselingkuhan, poligami, keadilan gender, budaya etnis, budaya bangsa lain, resistensi terhadap budaya patrialkal, lesbianisme, homoseksual, bahkan seksualitas di perbincangkan secara terbuka dan penuh antusias oleh pengarang perempuan. Selain itu disisi lain juga terdapat pula tema religius dan kemanusiaan yang menyentuh nurani.
Tidak hanya itu, bentuk-bentuk karya sastra cyber juga sama seperti sastra pada umumnya yang dikenal. Ada puisi juga ada prosa. Menariknya tulisan prosa dalam sastra cyber tidak hanya dinikmati dalam tulisan cerpen (cerita pendek), melainkan ada juga dalam bentuk fiksi mini atau flash fiction, cerfet (cerita estafet), ff (fan fiction), dan cerpen "keroyokan" yaitu salah satu cerpen yang ditulis lebih dari satu orang. Hal tersebut merupakan suatu inovasi dari sastra yang nilainya tidak bisa dipandang sebelah mata dalam perkembangan sastra.
Tidak dapat dipungkiri lagi, pada akhirnya sastra cyber menjadi bagian dari sejarah sastra indonesia, yang keberadaannya merupakan reaksi positif dunia sastra dalam menyongsong kemajuan teknologi. Berikut beberapa contoh karya sastra cyber:

"Gadis Penjaja Jagung Bakar"

Di tengah deru napas pantai
Meringkuk seonggok tubuh dingin
Mencari sepercik kehangatan
yang tersisa, dari
Diangan bara api, sesekali tangan mungilnya
Bergerak mengipati sang bara,
Agar semangat menyala
Rona mukamu terlihat kuyu
Terbayang hangatnya selimut enak
Langit makin kelam pun kian menggigit
Sedikit pupus mau berharap
Tapi...
Tiap kau ingat keluargamu
Gerak kipasmu makin bergelora
Doa mu makin berdengung
"Angin, bawalah aroma jagungku
Terbarkan ke penjuru dunia
Semoga mereka akan tergoda karenanya"

Puisi tersebut merupakan salah satu puisi narablog, sulung. Ia adalah alumnus sastra indonesia Universitas Negeri Padang. Di blog pribadinya, dia menulis catatan pribadi, fiksi, dan puisi. selain contoh puisi tersebut ada juga contoh fiksi:

" Tukang Kredit "
Dia membongkar kuburanku.
Selembar bon utang diberikan padaku
"Maaf, kamu kurang seribu". (@erik_nusantara)

" Kumpul kebo "
Ayah membawa kerbaunya masuk rumah.
Ibu marah-marah.
Akupun melintas pergi. (@ariess64)

Kedua fiksi tersebut merupakan fiksi mini yang terdapat di laman Media sosial @fiksimini. Dengan batasan 140 karakter, penulis fikaimini ingin karyanya bisa masuk di retweet, yang harus berusaha menciptakan fiksi mini yang layak tayang di lini masa akun @fiksimini.


Daftar Pustaka

Septriani, Hilda. 2017. Fenomena Sastra Cyber : sebuah kemajuan ataukemunduran?. Https://susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/03-makalah-hilda-septriani. (Diakses tanggal 20 april 2020).
Farahiba, Ayyu Subhi. 2017. Eksistensi sastra cyber sebagai media komunikasi antar bangsa. Http://susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/12-makalah-ayyu-subhi-Eksistensi-sastra-cyber-sebagai-media-komunikasi-antarbangsa-pro. (Diakses tanggal 2 mei 2020).
Santoso, Teguh. 2012. Sastra cyber. Https://www.google.com/amp/s/aceh.tribunnews.com/amp/2012/01/29/sastra-cyber. (Diakses tanggal 09 mei 2020).
Nugraha, Reza Sukma. 2015. Sastra cyber: genre baru dengan kualitas meragukan?. Https://www.rezasukmanugroho.com/2015/03/sastra-cyber-genre-baru-dengan-kualitas.html?m=1. (Diakses tanggal 08 mei 2020).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar